HAKIKAT KEMERDEKAAN



لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS Ibrahim: 7)

Kemerdekaan merupakan salah satu karunia besar dari Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa kepada hamba-hambaNya. Ia merupakan nikmat urutan kedua sesudah nikmat kehidupan. Namun ia tetap berada pada satu urutan di bawah nikmat termahal, yakni nikmat keimanan. Sebagaimana nikmat-nikmat lainnya Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa memerintahkan kita untuk mensyukurinya. Sebab mensyukuri nikmat akan menghasilkan pelipatgandaan nikmat itu sendiri. Sedangkan kufur nikmat akan menyebabkan nikmat itu berubah menjadi sumber bencana bahkan azab.

Sebagian ‘ulama mendefinisikan syukur nikmat sebagai:
استعمال النعمة في الطاعة لزيادة النعمة
“Memanfaatkan nikmat di jalan ketaatan sehingga nikmat tersebut bertambah.”

Apabila kita sebagai suatu bangsa pandai memanfaatkan nikmat kemerdekaan dengan menjalani kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara penuh dengan berbagai program ketaatan kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa, niscaya nikmat tersebut akan Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa tambah kepada kita semua. Namun sebaliknya bilamana kemerdekaan itu kita sikapi dengan menjalani kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara jauh dari tuntunan ilahi, maka sudah sewajarnya nikmat kemerdekaan malah terasa menjadi sumber bencana dan bahkan azab.

Adalah suatu ironi bila sebagai suatu bangsa yang berjuang berabad-abad mengusir para penjajah kafir Inggris, Portugis, Belanda dan Jepang dengan semangat takbir Allah Maha Besar الله اكبر

Lalu saat meraih kemerdekaan justru membesarkan paham nasionalisme-materialisme-sekulerisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Masihkah kita perlu heran mengapa setelah hidup di alam kemerdekaan berpuluh tahun justru kita sebagai bangsa semakin terpuruk? Bukankah apa yang sedang kita alami sekarang hanyalah sebuah bukti kebenaran firman Allah di atas? ”… dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”

Mengingkari nikmat maknanya di sini adalah tidak memanfaatkan nikmat kemerdekaan di jalan Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa, artinya tidak menjadikan Islam (ajaran Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa) sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita lebih percaya dan bangga dengan made ideology daripada way of life yang telah digariskan Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa. Padahal saat sedang terjepit oleh para penjajah hanya Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa yang kita panggil dan mohonkan pertolongan-Nya.

Menurut seorang ulama hakikat kemerdekaan atau kebebasan adalah:
كون الإنسان عبدًا لله خلقا و شعورًا و خلقا
“keberadaan manusia sebagai hamba Allah baik dari sudut penciptaan, perasaan maupun akhlaq.”

Artinya, seorang manusia, menurut pandangan Islam, barulah akan disebut merdeka bilamana ia sadar dan berusaha keras mamposisikan dirinya selaku hamba Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa saja dalam segenap dimensi dirinya, baik penciptaan, perasaan maupun akhlaq. Dan segera ia akan divonis tidak merdeka atau belum merdeka bilamana ia masih menghambakan dirinya kepada selain Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa.

Atau, dengan kata lain, kemerdekaan seseorang atau suatu bangsa sangat ditentukan pada seberapa besar upaya individu atau bangsa tersebut menjadikan kalimat Tauhid.

لآ إله إلا الله

Sebagai motivator dan inspirator utama pembebasan diri atau bangsa dari dominasi apapun atau siapapun selain Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa. Dan pada dasarnya inilah yang telah didakwahkan oleh Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi Wasallaam dan oleh segenap Nabi dan Rasul lainnya dahulu kala. Tak ada seorang pun Rasul yang diutus Allah kepada umat manusia melainkan menyampaikan pesan abadi dan universal untuk ”hanya menyembah Allah dan menjauhi thaghut (syaithan).

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu.” (QS an-Nahl: 36)

Ini pula yang telah disampaikan oleh sahabat Rib’iy bin Aamer radhiyallaahu ‘anhu saat beliau diutus khalifah Umar bin Khattab radhiyallaahu ‘anhu untuk bernegosiasi bilateral dengan negara adidaya Persia. Rib’iy berkata kepada Panglima Persia Rustum:

ابتعثنا الله لنخرج الناس من عبادة العباد لعبادة الله وحده
“Kami (umat Islam) diutus Allah untuk mengeluarkan manusia dari penghambaan sesama hamba untuk menghamba kepada Allah semata.”

Sehingga Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi Wasallaam berhasil dengan gilang-gemilang mengeluarkan bangsa Arab dari kubangan kegelapan jahiliah kepada kecemerlangan kehidupan dan peradaban di bawah naungan ridho Allah ‘Azza wa Jalla. Sehingga tampillah suatu masyarakat berperadaban baru yang menyerahkan segenap dimensi kehidupannya mengikuti apa-apa yang diturunkan Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa. Sehingga lahirlah suatu umat terbaik (khairu ummah) yang tidak mencintai, mentaati serta merasa takut kepada apapun dan siapapun selain kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’aalaa.




------------------------------------------------
Sumber: www.eramuslim.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar